Penyakit jantung koroner merupakan jenis penyakit kardiovaskular yang menyerang jantung dan pembuluh darah. Bahkan, penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian nomor satu pada orang Amerika dewasa. Setiap tahunnya, di Amerika Serikat terdapat 478.000 orang meninggal karena penyakit jantung koroner, sebanyak 1,5 juta orang mengalami serangan jantung, 407.000 orang mengalami operasi peralihan, dan 300.000 orang menjalani angioplasti.
Sementara data Departemen Kesehatan RI dan Yayasan Penyakit Jantung menyebutkan penyakit ini merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. "Penyakit jantung koroner adalah salah satu penyakit yang mematikan. Persentase kematian akibat penyakit kardiovaskular untuk penyakit jantung koroner adalah 53 persen," ucap ahli jantung dari Rumah Sakit Jantung Nasional Harapan Kita, Prof Dr Harmani Kalim MPH SpJP (K) FIHA FASCC.
Menurut Harmani, penyakit jantung koroner disebabkan oleh penyumbatan dalam pembuluh darah. Atau bisa juga disebut dengan aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah). "Ini berarti adanya Aterosklerosis timbunan karang dan hilangnya kelenturan pembuluh darah. Aterosklerosis koroner berdampak pada pembuluh darah yang membawa darah menuju jantung, dan dapat memicu serangan jantung," sebut dokter dari Universitas Indonesia ini.
Serangan jantung merupakan suatu keadaan yang bersifat mengancam jiwa. Jika terlambat ditanggulangi, besar kemungkinan penderita akan mengalami kematian. Serangan jantung (heart attack/infark miokard) merupakan keadaan saat otot jantung (miokardium) mengalami kerusakan atau kematian. Hal ini dapat disebabkan terhentinya suplai darah yang membawa oksigen.
"Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang bisa mengurangi kualitas hidup seseorang," ucap dokter yang sejak 2003 ini menjadi guru besar ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah.
Selanjutnya, suplai darah dapat terganggu akibat beberapa hal, yakni adanya salah satu nadi koroner terblokade selama beberapa saat. Hal ini bisa berakibat spasme (mengencangnya nadi koroner), atau akibat trombus (penggumpalan darah). Dan yang kedua karena adanya penyempitan dan penyumbatan karena penumpukan zat-zat lemak (kolesterol, trigliserida) yang semakin lama semakin banyak dan menumpuk di bawah lapisan terdalam (endotelium) dari dinding pembuluh nadi.
"Terdapat faktor-faktor resiko akibat penyakit kardiovaskular ini. Faktor risiko tersebut terbagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang bisa diubah dan faktor risiko yang tidak bisa diubah," ucap Harmani yang menjadi pembicara seminar Tinjauan Farmakoekonomi: Paradigma Baru Terapi Aterosklerosis di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selanjutnya, dia juga menambahkan bahwa faktor risiko yang tidak bisa diubah karena faktor usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga. Untuk faktor risiko yang bisa diubah adalah diabetes, hipertensi, obesitas, kurang gerak, dan merokok.
"Biasanya faktor risiko yang bisa diubah ini terjadi karena gaya hidup dari si penderita. Umumnya, mereka adalah perokok aktif," papar Harmani.
Pada penyakit jantung koroner terdapat gejala-gejala yang dirasakan oleh si penderita, seperti adanya rasa tertekan (ditimpa beban, nyeri, terjepit, diperas, dibakar) di dada, dan dapat menjalar ke lengan kiri, leher, dan punggung. Rasa tercekik atau sesak yang dirasakan terjadi lebih dari 20 menit. Selain itu, muncul keringat dingin dan jantung berdebar.
Sementara itu, dokter spesialis Jantung RS Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta Dr Isman Firdaus SpJP FIHA mengatakan bahwa penderita penyakit jantung koroner terus meningkat setiap tahunnya. Karena, mereka kurang informasi tentang penyakit ini.
"Banyak orang yang anggap remeh penyakit ini. Pengetahuan yang sedikit tentang penyakit jantung koroner, juga disebabkan sedikitnya jumlah dokter jantung yang ada di Indonesia, yakni kurang lebih 400 dokter. Di Papua saja, hanya ada 1 dokter jantung," kata dokter jantung termuda di Indonesia ini. Dia juga menambahkan, rata-rata penderita jantung koroner tidak mengetahui gejala awal penyakit ini.
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar