Cukup 10 menit untuk membedakan antara bos dan pemimpin. Jika staf Anda perlu waktu kurang dari 10 menit untuk merumuskan kehebatan Anda, Andalah sang pemimpin. Kalau dia harus lama berpikir, Anda lebih tepat disebut bos.
Bos itu orang-orang yang berada di posisi atas, tapi berdiri di belakang stafnya. Sukanya nyuruh-nyuruh dan nunjuk-nunjuk. Maunya menerima setoran, dan cenderung mengabaikan bagaimana proses berjalan. Nyaris tidak ada encourage bagi anak buahnya.
Tidak begitu halnya dengan pemimpin. Sikap yang menonjol dari pemimpin adalah memberi dorongan maju dan memberi motivasi bagi anak buahnya. Dia akan berdiri paling depan, memberikan visi dan strategi yang jelas, tegas serta memperhatikan setiap proses pembelajaran bersama komunitasnya. Kehadirannya membawa manfaat bagi lingkungan sekitar.
Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya Grup Lorena di era bisnis penerbangan murah, jika para petingginya bossy. Waktu tempuh bus kalah jauh dibandingkan pesawat sementara harga tiketnya hampir sama. Penumpang bus beralih ke penerbangan dan berat sekali dampaknya bagi bisnis angkutan darat.
Nyatanya kami mampu survive karena kami, pemimpin maupun para stafnya, kompak berpikir bareng merumuskan solusinya. Kami mengatur ulang rute bus supaya tidak head to head dengan penerbangan.
Layanannya juga kami perbaiki dengan mendirikan bisnis logistik (ESL Express). Sebelumnya, angkutan barang juga diangkut oleh bus Lorena. Terkadang yang menerima kru bus. Risikonya, kami yang dikejar kalau ada barang kiriman hilang.
Pendirian ESL Express ini keputusan benar karena bisa menyebar risiko tidak hanya bertumpu di Lorena. Lebih daripada itu, hanya butuh setahun bisnis kami bangkit lagi. Armada bus terisi penumpang. Bahkan kehadiran bisnis logistik menambah kuat Grup Lorena.
Saya melihat, sosok kepemimpinan yang ditunjukkan ayah saya dalam dinamika bisnis transportasi, termasuk menghadapi krisis, memberi pelajaran berharga bagaimana seharusnya menjadi pemimpin. Saya mencatat beberapa nilai kepemimpinan.
Pertama, mau memberi kepercayaan kepada staf untuk melakukan sesuatu dianggap benar. Poin ini mendidik staf lebih inovatif dan berani. Tak perlu takut kepercayaan itu akan disalahgunakan dan merugikan perusahaan. Yang penting, pemimpinnya bisa memberikan konsep maupun arahan strategis yang matang, serta bersama-sama mengevaluasi hasilnya.
Kedua, menjadi motivator agar staf selalu bersemangat. Di lain waktu juga sanggup menawarkan solusi. Tidak sukanya marah-marah. Atasan yang suka marah-marah hanya mengerdilkan nyali staf sehingga justru tidak berani mengambil keputusan.
Ketiga, memiliki empati dan mau menjalin kedekatan dengan staf. Tembok tinggi yang sengaja dibangun untuk memisahkan relasi atasan dan staf hanya akan menutup proses transformasi di perusahaan.
Nilai-nilai tersebut yang terus saya pelajari. Paling tidak, ketika harus menghadapi sopir bermasalah misalnya, saya usahakan selalu bertanya, "Sudah makan apa belum". Sedikit empati ini memudahkan saya untuk mengetahui akar persoalan dan mencari solusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar