Tak hanya pada orang dewasa, kegemukan yang terjadi sejak masa kanak-kanak dapat menyuramkan kondisi kesehatan si anak pada kemudian hari. Dengan kata lain, anak yang kegemukan sejak kecil diprediksi bakal lebih cepat mengalami gangguan kesehatan. Sejumlah studi bahkan menyimpulkan, anak-anak yang kelebihan berat badan sejak usia kurang dari 10 tahun akan menghadapi ancaman stroke pada usia 40, bahkan bisa dimulai sejak usia 30. Cukup menyeramkan kan?
Nah, terkait janin besar, memang ada kemungkinan si bayi mencapai berat badan normal seiring pertumbuhannya. Namun, perlu dipahami bahwa bobot janin yang terlampau besar merupakan kondisi yang tidak baik bagi janin maupun ibunya. Kendati rata-rata berat normal bayi baru lahir adalah 3,2 kilogram, ras yang berbeda bisa melahirkan bayi dengan berat berbeda pula. Di Indonesia, bayi lahir dengan berat 4 kg terbilang besar, tapi di Amerika atau Pakistan misalnya, ukuran 4-5 kg bisa dianggap wajar.
Kondisi bayi dengan berat lahir berlebih atau abnormal diistilahkan dengan fetal macrosomia. Ini sering terjadi pada anak dengan ibu diabetes, atau mereka dengan gigantisme serebral. Saat hamil, gula darah memang cenderung meningkat.
Kadar gula darah yang tidak terkontrol inilah yang dapat memicu pertumbuhan janin menjadi besar.
"Wanita diabetes harus berhati-hati saat mengandung. Gula darah harus selalu dipantau, dietnya juga diatur, kalau perlu minum obat untuk mengontrol kadar gula darah agar tetap stabil," saran spesialis kebidanan dan kandungan dari Brawijaya Women and Children Hospital dr Nugroho Kampono SpOG(K).
Macrosomia juga bisa terjadi pada kelahiran yang belum cukup umur. Misalkan, bayi yang terlahir pada usia 7 bulan kehamilan, tapi beratnya sudah mencapai 3-4 kilogram. Badannya mungkin terlihat besar, tapi organ tubuhnya belum matang. Akibatnya, bisa jadi pernapasan bayi tidak berkembang atau timbul hipoglikemi (kadar gula darah turun drastis).
Demikian halnya usia kehamilan yang terlalu lama (41 minggu atau lebih) dan kehamilan kembar juga meningkatkan risiko macrosomia. Bila bumil punya riwayat melahirkan bayi macrosomia sebelumnya, maka ia berisiko 5-10 kali lebih tinggi untuk kembali melahirkan bayi macrosomia dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan bayi macrosomia.
Lebih jauh, aspek genetik juga diduga turut berperan. Orangtua yang tinggi dan gemuk tentunya lebih berpeluang melahirkan bayi berukuran besar pula. Bumil dengan berat badan berlebih, baik sebelum hamil ataupun pertambahan berat badan yang pesat selama kehamilan, juga perlu memantau dan mengendalikan bobot tubuhnya. Pasalnya, wanita obesitas berisiko lebih besar melahirkan bayi berbobot besar. Data menyebutkan, sekitar 15-30 persen wanita yang melahirkan bayi macrosomia memiliki bobot 90 kilogram atau lebih.
Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan? Hal terbaik adalah melakukan perencanaan pola makan dan asupan gizi semasa hamil yang dikonsultasikan ke ahli gizi. Karena itu bisa disesuaikan dengan kondisi masing-masing bumil. Selain itu, lakukan pengendalian diri dengan tidak mengonsumsi makanan berpengawet dan berpewarna buatan.
"Pada kehamilan trimester pertama, sebaiknya bumil tidak melakukan diet atau mengurangi makan. Apalagi hamil tiga bulan pertama biasanya kecenderungan mual dan muntah. Jadi, ibu bisa makan apa yang dia selera dan tidak membuat mual atau muntah. Trimester pertama juga merupakan masa aktif pembelahan sel sehingga bumil perlu energi yang mencukupi," saran spesialis Kebidanan dan Kandungan dari RS Hermina Jakarta, dr Arju Anita SpOG.
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar